ipbprinting - Memajukan UKM Indonesia

La Galigo Menurut Naskah NBG 188 jilid 3

Bagikan:
  • Pustaka Obor Indonesia

Penulis

Rating

Harga

Rétna Kencana Colliq Pujié Arung Pancana Toa (editor)

5.0

Rp. 175.000

Kategori

Upload Desain

Deskripsi

Kisah ini diawali ketika Wé Datu Sengngeng hamil dan melahirkan kembar emas, yaitu Wé Tenriabéng dan Sawérigading. Sawérigading inilah tokoh utama dalam La Galigo yang kelak kisahnya dipenuhi dengan petualangan laut.

            Seperti diketahui, hampir semua episode La Galigo mengusung tema utama pelayaran dan perantauan. Tema ini mengandung budaya maritim, yang mengajarkan kepada manusia tentang banyak hal, antara lain, sikap egalitarian, keterbukaan, musyawarah, menghargai perbedaan, dan independen.

Hamba sahaya yang hina-dina seperti yang ditemukan dalam kisah-kisah kuno lainnya hampir-hampir tak ditemukan dalam naskah La Galigo, bahkan mereka diberi gelar khusus yang mempunyai kedudukan yang tinggi dalam kebudayaan Bugis yakni  Bissu Pattudang.

Hubungan dengan berbagai negeri dan negara dibangun atas dasar saling pengertian dan saling menghargai, baik di Nusantara maupun di dunia.

Hubungan antara laki-laki dan perempuan berlangsung setara, independen, simbiosis, dan negosiasi tanpa ada dominasi antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini terlihat ketika Sawérigading bertemu, bercinta, dan bertunangan dengan Senrima Wéro di Istana Tanra Tellu di Boting Langiq (kerajaan langit). Keduanya saling jatuh cinta namun tetap berpijak pada keyakinan dan prinsip yang mereka anut tanpa saling memaksakan kehendak antara keduanya. Senrima Wéro mencintai Sawérigading, tapi dengan syarat harus tetap tinggal di kerajaan langit, sementara Sawérigading bertahan untuk menikahi Senrima Wéro dan membawanya turun ke dunia tengah (Alé Lino). Meski keduanya saling mencintai, tapi keduanya tidak bisa menyatu karena perbedaan prinsip tersebut, akhirnya mereka sepakat untuk berpisah.

            Sistem perkawinan dalam La Galigo adalah negosiasi, bila laki-laki lebih tinggi derajat kebangsawanannya dibanding perempuan, maka perempuanlah yang mengadakan pesta dan mengawini laki-laki, sebaliknya, bila perempuan lebih tinggi derajatnya dari laki-laki, maka laki-lakilah yang mengadakan pesta dan menikahi perempuan.

Hubungan yang seimbang itu tetap berlangsung, sampai sesudah menikah.

Keseimbangan, antara dunia langit (Boting Langiq) dan dunia bawah laut (Pérétiwi), diantarai oleh dunia tengah yakni bumi manusia (Alé Lino), yang berfungsi sebagai penjaga keseimbangan antara dunia atas dan dunia bawah laut. Dan pengarang La Galigo begitu apik dan sempurna mengadopsi kehamonisan alam ini secara makro ke dalam hubungan manusia secara mikro, termasuk dalam hubungan intim antara laki-laki dan perempuan dengan balutan bahasa halus dan simbolik tanpa kesan eksploitasi bahasa seksualitas dan porno. Kisah purba dalam La Galigo lahir  melampaui zamannya, di dalamnya menggambarkan tentang jiwa-jiwa petualang, bebas, dan merdeka dari negeri para pemberani. Cinta, romantisme, dan erotisme diramu dengan sempurna melebihi kisah-kisah seperti Kama Sutera dan Lontaraq Assikalibiningeng.

img-

La Galigo Menurut Naskah NBG 188 jilid 3

  • Pustaka Obor Indonesia
  • Rp. 175.000
Bagikan:

Deskripsi

Kisah ini diawali ketika Wé Datu Sengngeng hamil dan melahirkan kembar emas, yaitu Wé Tenriabéng dan Sawérigading. Sawérigading inilah tokoh utama dalam La Galigo yang kelak kisahnya dipenuhi dengan petualangan laut.

            Seperti diketahui, hampir semua episode La Galigo mengusung tema utama pelayaran dan perantauan. Tema ini mengandung budaya maritim, yang mengajarkan kepada manusia tentang banyak hal, antara lain, sikap egalitarian, keterbukaan, musyawarah, menghargai perbedaan, dan independen.

Hamba sahaya yang hina-dina seperti yang ditemukan dalam kisah-kisah kuno lainnya hampir-hampir tak ditemukan dalam naskah La Galigo, bahkan mereka diberi gelar khusus yang mempunyai kedudukan yang tinggi dalam kebudayaan Bugis yakni  Bissu Pattudang.

Hubungan dengan berbagai negeri dan negara dibangun atas dasar saling pengertian dan saling menghargai, baik di Nusantara maupun di dunia.

Hubungan antara laki-laki dan perempuan berlangsung setara, independen, simbiosis, dan negosiasi tanpa ada dominasi antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini terlihat ketika Sawérigading bertemu, bercinta, dan bertunangan dengan Senrima Wéro di Istana Tanra Tellu di Boting Langiq (kerajaan langit). Keduanya saling jatuh cinta namun tetap berpijak pada keyakinan dan prinsip yang mereka anut tanpa saling memaksakan kehendak antara keduanya. Senrima Wéro mencintai Sawérigading, tapi dengan syarat harus tetap tinggal di kerajaan langit, sementara Sawérigading bertahan untuk menikahi Senrima Wéro dan membawanya turun ke dunia tengah (Alé Lino). Meski keduanya saling mencintai, tapi keduanya tidak bisa menyatu karena perbedaan prinsip tersebut, akhirnya mereka sepakat untuk berpisah.

            Sistem perkawinan dalam La Galigo adalah negosiasi, bila laki-laki lebih tinggi derajat kebangsawanannya dibanding perempuan, maka perempuanlah yang mengadakan pesta dan mengawini laki-laki, sebaliknya, bila perempuan lebih tinggi derajatnya dari laki-laki, maka laki-lakilah yang mengadakan pesta dan menikahi perempuan.

Hubungan yang seimbang itu tetap berlangsung, sampai sesudah menikah.

Keseimbangan, antara dunia langit (Boting Langiq) dan dunia bawah laut (Pérétiwi), diantarai oleh dunia tengah yakni bumi manusia (Alé Lino), yang berfungsi sebagai penjaga keseimbangan antara dunia atas dan dunia bawah laut. Dan pengarang La Galigo begitu apik dan sempurna mengadopsi kehamonisan alam ini secara makro ke dalam hubungan manusia secara mikro, termasuk dalam hubungan intim antara laki-laki dan perempuan dengan balutan bahasa halus dan simbolik tanpa kesan eksploitasi bahasa seksualitas dan porno. Kisah purba dalam La Galigo lahir  melampaui zamannya, di dalamnya menggambarkan tentang jiwa-jiwa petualang, bebas, dan merdeka dari negeri para pemberani. Cinta, romantisme, dan erotisme diramu dengan sempurna melebihi kisah-kisah seperti Kama Sutera dan Lontaraq Assikalibiningeng.

Produk terkait
Baron Sakendher - Cerita Rakyat Spanyol Versi Jawa
Baron Sakendher - Cerita Rakyat Spanyol Versi Jawa
Rp. 75.000
Jiwa-Jiwa Mati
Jiwa-Jiwa Mati
Rp. 85.000
Anak Mat Lela Gila
Anak Mat Lela Gila
Rp. 75.000
Candide
Candide
Rp. 65.000
Kajian Perempuan Malaysia-Indonesia Dalam Sastra
Kajian Perempuan Malaysia-Indonesia Dalam Sastra
Rp. 100.000
Dedaun Hijau di Angin Lalu
Dedaun Hijau di Angin Lalu
Rp. 80.000
Ketika hitam dikatakan putih dan sajak tetap bersuara: sajak-sajak malaysia–indonesia
Ketika hitam dikatakan putih dan sajak tetap bersuara: sajak-sajak malaysia–indonesia
Rp. 80.000
Islamisasi Bugis: Kajian Sastra Atas La Galigo Versi Bottinna I La Déwata Sibawa I Wé Attaweq
Islamisasi Bugis: Kajian Sastra Atas La Galigo Versi Bottinna I La Déwata Sibawa I Wé Attaweq
Rp. 170.000